Sejak awal abad ke-17, saat Jan Pieterszoon Coon, Gubernur-Jenderal Hindia Belanda, mendirikan kastil dan kota Batavia, budak sudah ada di Batavia. Mulanya mereka hanya merupakan tenaga kerja, namun dangan adanya sistem perdagangan budak yang terorganisasi dan rapi, budak-budak lalu menjadi barang inventars para pemiliknya. Bahkan pangkat, jabatan serta status sosial seseorang pejabat VOC pada waktu itu ditakar dari seberapa banyak budak yang dimilikinya.
Satu hal yang unik adalah hadirnya budak-budak perempuan telah turut menghidupkan praktek kumpul kebo (samen leeven), kasus cinta gelap serta dunia per "nyai" an di Batavia sejak awal zaman Kompeni. Kata "nyai" kini merupakan sebutan umum di Jawa Barat bagi wanita dewasa. Kata ini dulu konotasinya lain. terutama di zaman berkuasanya meneer-meneer Kompeni Belanda. Hal ini dapat juga dimaklumi karena saat awal kedatangan bangsa Belanda ke Batavia, para pedagang dan tentara Belanda tidak membawa serta istri mereka dan sebagian diantaranya masih bujangan. Himbauan Jan Pieterszoon Coon kepada Heeren XVII untuk mendatangkan gadis-gadis, yang telah matang dari Belanda agar dapat menikah denan karyawan yang bertugas di Batavia ditolak. Akhirnya terpaksa mereka mengambil wanita pribumi di Batavia untuk teman hidupnya. Maka beranak pinaklah anak-anak blasteran dari rahim sang nyai.
Sejak abad ke-17, telah ada peraturan jika laki-laki Belanda menikahi perempuan hitam pribumi, mereka tidak diizinkan untuk membawa wanita dan anak-anaknya itu pulang ke negeri Belanda. Maka sejak itu pula pegawai-pegawai Kompeni ini lebih suka kumpul kebo dengan nyai-nyai. Dan kalaupun mereka suatu saat nanti akan pulang ke Belanda, maka sang nyai yang "gundik" dan anak-anaknya ditinggalkan saja di Batavia. Kebiasaan ber"nyai" ini kemudian menjadi gaya hidup khas Kompeni. Hasilnya, lebih dari separuh laki-laki Belanda di Batavia, paling tidak pernah kawin dua kali, serta memiliki nyai. Sang nyai yang berkulit sawo matang ini kurang mendapat kehormatan di lingkungan keluarganya. Di lain pihak, dalam pergaulan sosial di kalangan warga Kompeni, nyai-nyai ini hanya dianggap sebagai gundik yang tak berhak seperti nyonya-nyonya Belanda lainnya. Namun konon para pria Belanda yang berpoligami dengan para nyai pribumi ini usianya lebih panjang, entah kenapa.
Nyai Dasima
Kisah Nyai Dasima adalah sebuah kisah dari dunia per-"nyai"-an yang populer di kalangan masyarakat Betawi. Perempuan asal Bogor ini hidup antara tahun 1805 dan 1830. Wanita cantik ini adalah gundik dari tuan Edward William, pria asal Inggris staf kepercayaan Sir Thomas Stamford Raffles, yang tinggal di Loji Pejambon. Hubungan Dasima dengan keluarganya pun putus karena Dasima dianggap telah murtad, lantaran kawin dengan Edward yang di mata mereka kafir. Hidupnya bagaikan seekor burung merpati dalam sangkar emas. Walaupun segala kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh tuan Edward, Dasima bernasib sama seperti nyai-nyai lainya, sebenarnya tidak bahagia hidupnya.
Di tengah pergaulan tuannya, ia tidak mempunyai arti. Sementara di mata bangsa sendiri martabatnya jatuh di bawah telapak kaki. Ia selalu jadi bahan bualan, olokan, cibiran, dihina, dan dicemoohkan. Tuan Edward ternyata hanya memerlukan Dasima di dalam kamar saja. Dasima hidup tanpa pegangan. Dalam situasi tersebut, munculah sang calon penyelamat, Samiun. Pemuda Kwitang ini akhirnya berhasil menggaet Dasima. Namun bandar kerbau ini ternyata hanya ingin memoroti emas dan perhiasan Dasima guna menutup hutang-hutangnya di tukang gadai. Dasima lari meninggalkan Edward, dan menikah dengan Samiun, dengan harapan dapat kembali menjadi muslimat yang saleh dan dapat menebus dosa-dosa masa lalunya.
Namun nasibnya berakhir tragis. Nyai Dasima mati di kali Cempaka Putih. Ia dirampok oleh suaminya sendiri, Samiun, dengan bantuan jawara tanah Tinggi, Bang Puasa. Nyai Dasima diperdaya lalu dibunuh. Kisah Nyai Dasima ini tidak saja dijadikan buku oleh penulis Belanda G.Francis, dan pengarang A.Th. Manusama serta S.M. Ardan, tapi juga telah diangkat ke layar perak oleh sutradara Haji Misbach Yusa Biran pada 1970.
Mariam, Si Manis Jemabatn Ancol
Lenny Marlina (Mariam, 1973) |
Singkat cerita, mereka kemudian dinikahkan di depan penghulu. Keduanya sepakat melakukan perceraian satu minggu setelah ayah Mariam meninggal dunia. Ternyata H. Acim tidak jadi meninggal. Di lain pihak, sang tukang sado, Husin, malah benar-benar jatuh cinta pada Mariam, bahkan menuntut haknya sebagai suami. Mariam tak mau memberiknnya, karena hatinya tetap terpaut pada sang bule, John. Celakanya John tahu kekasihnya telah kawin dengan pria lain, ia pun sakit hati dan marah besar.
Lewat kekuasaan ayahnya, ia menyuruh serdadu Kompeni menangkap Husin dan Mariam. Mariam kemudian diketahui mati secara tragis, akibat perlakuan kejam penjahat, Pii. Jenazahnya ditemukan di muara Ancol. Sejak saat itu arwah Mariam konon selalu gentayangan di bilangan jembatan Ancol. Kisah Mariam ini yang kemudian populer dengan sebutan Si Manis Jembatan Ancol. Tahun 1973, Kisah Si Manis Jembatan Ancol difilmkan dengan sutradara Turino Junaedi dan Mariam diperankan oleh Lenny Marlina.
Di balik kedua kisah nyai yang bernasib tragis tersebut di atas, masih banyak kisah nyai-nyai yang bernasib serupa. Mereka ber"suami"kan laki-laki Kompeni dan memiliki keturunan, terutama di perkebunan-perkebunan.
by. Salman P
dikutip dari buku Toko Merah~Thomas M. A.
No comments:
Post a Comment