Total Pageviews

Wednesday, February 15, 2017

Koruptor Kabur ke Hongkong

Tuan dan nyonya Sonneveld
Kejahatan atau penipuan besar, belum banyak terjadi pada tempo dulu. Orang-orang pribumi masih hidup demikian sederhananya. Lagi pula mereka belum banyak berkecimpung dalam dunia dagang atau pekerjaan-pekerjaan yang besar. Hanya orang-orang Belanda saja yang memegang posisi utama, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang bisnis. Karenanya, nafsu-nafsu jahat pun cuma berkembang di sana. 

Seorang Belanda demikian, bikin heboh pada tahun 1913. Dan rupanya cara Belanda penipu itu, dicontoh oleh banyak penipu-penipu (koruptor) zaman sekarang. Yakni habis melakukan penipuan, kabur ke Hongkong. Nama Belanda itu adalah Meneer Sonneveld. Pekerjaannya adalah kepala kasir pada perusahaan besar tempo dulu, Escomto, di Batavia. Ia kuras uang kas perusahaan itu, lalu bersama isterinya, kabur ke Hongkong. 

Peristiwa Meneer Sonneveld ini menghebohkan masyarakat golongan elite di Indonesia (Hindia Belanda). Karena sebelum menjabat kasir di Escomto, latar belakang kehidupannya juga dianggap istimewa. Meneer Sonneveld adalah bekas KNIL. Tapi dinas ketenteraan, rupanya kelakuannyatidak sesonoh. Pangkatnya terakhir Sersan Mayor. Ia di onslag kata orang dulu. Namun entah karena dia orang kulit putih atau bekas tentara perusahaan Escomto menerimanya sebagai kasir. Sebagai kasir, kehidupan tuan dan nyonya Sonneveld ini cukup menyolok. Besar pasak dari tiang. Nyonya Sonneveld ini orang Indonesia. Mereka berdua sering keluar masuk sositet, dan karena itulah, nama mereka beken di kalangan elie. Namun nama beken itu, lantas jadi busuk, ketika terbetik berita bahwa tuan dan nyonya Sonneveld itu kabur memboyong uang kas perusahaan. Bumbu sensasi laindari peristiwa Sonneveld adalah kenyataan, bahwa sebagai tentara, dia pernah pula menerima bintang jasa yang disebut Willemorde Derde Klasse.

Pribumi pemakai candu
Peristiwa-peristiwa kejahatan juga banyak dilakukan orang-orang Indonesia. Tapi, umumnya kejahatan itu dalam bentuk gerombolan perampok yang beraksi di pinggiran kota Batavia. Di Bekasi terkenal gerombolan demikian pada awal abad ke-20 ini. Baru setelah tahun 1912, gerombolan itu ditumpas, dan 6 anggotanya dihukum gantung di hadapan rakyat. 

Banyak penjahat-penjahat pribumi ini, terjerumus jahat, karena bikinan pemerintah Kolonial juga. Belanda dulu memperbolehkan orang-orang pribumi kecanduan narkotik (morfin). Kolonial menyediakan warung-warung di mana orang boleh sebebasnya ,menghisap candu. Karena akibat candu orang jadi malas, lalu didorong oleh keinginan mengisap lagi, tapi butuhkan uang, maka orang-orang kecanduan tempo dulu tidak punya jalan lain untuk beli candu, kecuali menggarong/merampok.

Warung-warung candu ini, dulu merupakan sumber pendapatan bagi pemerintah Kolonial. Karena warung-warung ini hanya diperbolehkan menjual candu yang dihasilkan pemerintah. 

by. Salman P
dikutip dari buku : Jakarta Tempo Doeloe~Abd. Hakim

baca juga : 

Fientje, WTS Blasteran Indo-Belanda Dibunuh Tuan Besar


Miris, 192 Budak Toko Merah Dilelang!

Saat itu, budak sudah dijadikan bran inventaris bagi pemiliknya. Tugas para budak bermacam-macam dan spesifik. Antara lain, budak untuk memasak, mencuci pakaian, menjahit, menenun, memintal, membawa payung, tempat sirih dan tempolong ludah sang nyonya, membukakan jas tuannya, membersihkan rumah, mendayung sampan, membawa senapan, main musik, dan sebagainya. Para budak ini oleh para tuannya dapat diserahterimakan atau dijual kepada orang lain. Dan bila tidak dibutuhkan lagi mereka dijual ke pelelangan umum. Kisah lelang budak ini terjadi juga di gedung Toko Merah, saat bangunan ini menjadi milik janda Gubernur Jenderal VOC Reynier de Klerk, Ny. Sophia Francina Westpalm. 

Pada tahun 1786, bangunan Toko Merah ini mencatat sebuah peristiwa mengharukan dari pelelangan budak. Setahun sebelumnya pemilik rumah kembar ini, Sophia Francina Westpalm,  meninggal dunia pada akhir 1785 di dalam rumahnya ini. Janda Sophia meninggalkan sejumlah warisan yang sangat besar. Antara lain rumah Toko Merah ini, sebuah rumah lagi di Grogol, serta villa mewahnya di Molenvliet yang kini dikenal dengan gedung Arsip Nasional. Dikisahkan bahwa barang bergerak milik janda kaya raya ini berjumlah tak kurang dari 1.471 buah. Semuanya tercatat rapi dalam buku inventaris miliknya. Seluruh warisan tersebut pada 1786 dilelang di sebuah pelelangan umum. Tentang proses pelelangan harta milik janda Reynier de Klerk ini, dikisahkan sebagai berikut : 

Pada hari Sabtu tanggal 28 Januari 1786. Di depan rumah yang besar di tepi Kali Besa. Sakit rasanya menyaksikan para budak dilelang. Sebanyak 181 budak tercatat dalam daftar inventaris, ditambah 11 lainnya dalam daftar tambahan. Mereka berdiri di atas tangga, mengantri menunggu panggilan dan nasib. Petugas lelang lalu memanggil satu persatu lengkap dengan nama dan tugasnya masing-masing. Pertama Josephine, pemain klarinet. Kedua Ariantje van Batavia, pembuat renda, dengan ketiga anaknya. Ketiga Achiles, pembuat tambur dan pemain suling, .... dan seterusnya hingga selesai. Dalam pelelangan ini dilelang pula sebuah orkes lengkap dengan 17 pemain serta peralatan musiknya. Begitulah nasib para budak, inventaris janda kaya Sophia Francina Westpalm dilelang. Mereka meninggalkan bangunan tempatnya mengabdi, pergi terpencar mengikuti majikan baru yanag telah membelinya dalam lelang umum ini. Mereka tetap budak belian.

situasi lelang budak

by. Salman P
dikutip dari Buku Toko Merah~Thomas B.A

baca juga : 

Fientje, WTS Blasteran Indo-Belanda Dibunuh Tuan Besar

Fientje De Feniks
Cerita rakyat Betawi tempo dulu rupanya bukan sembarang cerita saja. Tapi cerita yang diambil dari kisah nyata. Atau menyerempet peristiwa nyata, lantas diberi bumbu lain. Peristiwa nyata yang menghebohkan itu dimulai ketika pada hari Jum'at tanggal 17 Mei 1912 di Kali Baru Batavia (sekarang daerah Senen), ditemukan mayat seorang wanita Indo (blasteran) masih muda, terapung. Mayat tersebut tersangkut di pintu air, terbungkus dalam karung. Kehebohan segera menyebar di kalangan penduduk Betawi, karena inilah pertama kali terjadi peristiwa dengan bumbu-bumbu kekerasan dan sex. 

Wanita Indo itu ternyata pula adalah seorang pelacur (wts), penghuni sebuah rumah pelacuran, yang dimiliki oleh seorang germo bernama Umar. "Kadapol" Kolonial Belanda untuk "Kodak" Batavia waktu itu adalah Komisaris Kepala Toen Ruempol. Ia dan anak buahnya kerja keras memecahkan misteri mayat wts blasteran dalam karung ini. Dari pemeriksaan mayat jelas ketahuan bahwa wanita Indo ini tewas dicekik. 

Umar sebagai germo yang menganakbuahi wts blasteran bernama Fientje De Feniks ini, diperiksa oleh Komisaris Reumpol. Dari Pengakuan Umar, terlibat seorang "tuan besar" (pejabat) bernama Gemser Brinkman. Meneer Brinkman cukup terkenal di kalangan sositet Belanda, karena dia adalah anggota sositet Concordia, yang sekarang masih diingat dengan nama gedung Harmonie. 

Komisaris Ruempol dan anggota polisi Batavia di TKP
Dituding oleh Umar, tuan Brinkman tidak bisa berkutik. Karena Brinkman ini memang sering jadi langganan Fientje De Feniks. Tuan Brinkman akhirnya lebih terjeblos lagi, karena muncul pula seorang wanita pelacur bernama Raonah, yang memberi keterangan bahwa ia menyaksikan dengan mata kelapanya sendiri, bagaimana Tuan Brinkman membunuh Fientje. 

Menurut Raonah, ketika peristiwa itu terjadi ia kebetulan sedang berada di belakang rumah pelacuran milik Umar. Ia mendengar suara gaduh. Raonah segera mengintip dari balik celah pohon bambu. Dari situ dia lihat bahwa yang gaduh adalah Tuan Brinkman dengan Fientje. Tuan Brinkman lantas mencekik Fientje, sehingga tewas. 

Brinkman membantah kesaksian Raonah. Mungkin karena ia yakin bahwa keterangan seorang wts pribumi tidak ada artinya buat dirinya, yang merupakana tuan besar itu. Brinkman juga yakin bahwa, sekiranya dia yang membunuh Fientje, juga tidak mungkin dirinya seorang tuan besar Belanda bisa dikenakan hukuman karena membunuh seorang pelacur Indo!

Namun pengadilan berpendapat lain. Brinkman dinyatakan bersalah, dengan ancaman hukuman mati! Menyadari hukuman ini, Tuan Brinkman jadi panik. Ia baru buka rahasia. Tapi ada yang diungkap selanjutnya, tetapi tetap tidak bisa membebaskannya. Menyadari hal ini, Tuan Brinkman malah berubah histeris, lalu berbuat kalap. Ia bunuh diri dalam sel tahanannya.

Pak Silun (tengah) dan anak buahnya
Peristiwa pembunuhan wts blasteran Indo-Belanda ini, menjadi tambah menggemparkan lagi. Sayang ketika itu belum ada "Pos Kota". Peristiwa itu, menyebar dikalangan masyarakat Betawi luas. Karena Tuan Brinkman yang berasal dari kangan atas itu, ternyata memakai tangan algojo-algojo dari kalangan penduduk pribumi. Tuan Brinkman sebenarnya menyuruh membunuh Fientje kepada seorang algojo yang bernama Pak Silun. Pak Silun dengan dua anak buahnyalah yang menhabisi nyawa Fientje.

Menurut cerita-cerita belakangan, Pak Silun menyesal sekali. Menyesal bukan karena ia tertangkap, tapi dia begitu menyesal karena untuk melakukan pembunuhan ini, dia baru menerima pembayaran berupa "persekot" saja. Untuk minta bayaran sisanya lagi, Tuan Brinkman sudah keburu mati.

by. Salman P

dikutip dari buku Jakarta Tempo Doeloe ~ Abdul Hakim


Tuesday, February 14, 2017

Awal mula kisah Nyai Dasima dan Mariam, Si Manis Jembatan Ancol

Sejak awal abad ke-17, saat Jan Pieterszoon Coon, Gubernur-Jenderal Hindia Belanda, mendirikan kastil dan kota Batavia, budak sudah ada di Batavia. Mulanya mereka hanya merupakan tenaga kerja, namun dangan adanya sistem perdagangan budak yang terorganisasi dan rapi, budak-budak lalu menjadi barang inventars para pemiliknya. Bahkan pangkat, jabatan serta status sosial seseorang pejabat VOC pada waktu itu ditakar dari seberapa banyak budak yang dimilikinya. 

Satu hal yang unik adalah hadirnya budak-budak perempuan telah turut menghidupkan praktek kumpul kebo (samen leeven), kasus cinta gelap serta dunia per "nyai" an di Batavia sejak awal zaman Kompeni. Kata "nyai" kini merupakan sebutan umum di Jawa Barat bagi wanita dewasa. Kata ini dulu konotasinya lain. terutama di zaman berkuasanya meneer-meneer Kompeni Belanda. Hal ini dapat juga dimaklumi karena saat awal kedatangan bangsa Belanda ke Batavia, para pedagang dan tentara Belanda tidak membawa serta istri mereka dan sebagian diantaranya masih bujangan. Himbauan Jan Pieterszoon Coon kepada Heeren XVII untuk mendatangkan gadis-gadis, yang telah matang dari Belanda agar dapat menikah denan karyawan yang bertugas di Batavia ditolak. Akhirnya terpaksa mereka mengambil wanita pribumi di Batavia untuk teman hidupnya. Maka beranak pinaklah anak-anak blasteran dari rahim sang nyai. 

Sejak abad ke-17, telah ada peraturan jika laki-laki Belanda menikahi perempuan hitam pribumi, mereka tidak diizinkan untuk membawa wanita dan anak-anaknya itu pulang ke negeri Belanda. Maka sejak itu pula pegawai-pegawai Kompeni ini lebih suka kumpul kebo dengan nyai-nyai. Dan kalaupun mereka suatu saat nanti akan pulang ke Belanda, maka sang nyai yang "gundik" dan anak-anaknya ditinggalkan saja di Batavia. Kebiasaan ber"nyai" ini kemudian menjadi gaya hidup khas Kompeni. Hasilnya, lebih dari separuh laki-laki Belanda di Batavia, paling tidak pernah kawin dua kali, serta memiliki nyai. Sang nyai yang berkulit sawo matang ini kurang mendapat kehormatan di lingkungan keluarganya. Di lain pihak, dalam pergaulan sosial di kalangan warga Kompeni, nyai-nyai ini hanya dianggap sebagai gundik yang tak berhak seperti nyonya-nyonya Belanda lainnya. Namun konon para pria Belanda yang berpoligami dengan para nyai pribumi ini usianya lebih panjang, entah kenapa.

Nyai Dasima 

Kisah Nyai Dasima adalah sebuah kisah dari dunia per-"nyai"-an yang populer di kalangan masyarakat Betawi. Perempuan asal Bogor ini hidup antara tahun 1805 dan 1830. Wanita cantik ini adalah gundik dari tuan Edward William, pria asal Inggris staf kepercayaan Sir Thomas Stamford Raffles, yang tinggal di Loji Pejambon. Hubungan Dasima dengan keluarganya pun putus karena Dasima dianggap telah murtad, lantaran kawin dengan Edward yang di mata mereka kafir. Hidupnya bagaikan seekor burung merpati dalam sangkar emas. Walaupun segala kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh tuan Edward, Dasima bernasib sama seperti nyai-nyai lainya, sebenarnya tidak bahagia hidupnya. 

Di tengah pergaulan tuannya, ia tidak mempunyai arti. Sementara di mata bangsa sendiri martabatnya jatuh di bawah telapak kaki. Ia selalu jadi bahan bualan, olokan, cibiran, dihina, dan dicemoohkan. Tuan Edward ternyata hanya memerlukan Dasima di dalam kamar saja. Dasima hidup tanpa pegangan. Dalam situasi tersebut, munculah sang calon penyelamat, Samiun. Pemuda Kwitang ini akhirnya berhasil menggaet Dasima. Namun bandar kerbau ini ternyata hanya ingin memoroti emas dan perhiasan Dasima guna menutup hutang-hutangnya di tukang gadai. Dasima lari meninggalkan Edward, dan menikah dengan Samiun, dengan harapan dapat kembali menjadi muslimat yang saleh dan dapat menebus dosa-dosa masa lalunya.

Namun nasibnya berakhir tragis. Nyai Dasima mati di kali Cempaka Putih. Ia dirampok oleh suaminya sendiri, Samiun, dengan bantuan jawara tanah Tinggi, Bang Puasa. Nyai Dasima diperdaya lalu dibunuh. Kisah Nyai Dasima ini tidak saja dijadikan buku oleh penulis Belanda G.Francis, dan pengarang A.Th. Manusama serta S.M. Ardan, tapi juga telah diangkat ke layar perak oleh sutradara Haji Misbach Yusa Biran pada 1970.

Mariam, Si Manis Jemabatn Ancol


Lenny Marlina (Mariam, 1973)
Nyai lain yang bernasib tragis adalah Mariam. Ia adalah gundik seorang sinyo Belanda bernama John. Secara sembunyi-sembunyi mereka pacaran, tanpa sepengetahuan ayah Mariam yaitu H. Acim. H. Acim sendiri ingin mempunyai calon mantu dari bangsa sendiri. Tidak kaya tak apa-apa, asalkan saleh dan taat beragama. Suatu saat H. Acim sakit keras, dan ingin bertemu calon mantu anak semata wayangnya. Mariam bingung, takut ayahnya murka bila tahu calon mantunya adalah seorang bule Belanda yang di mata ayahnya adalah seorang kafir. Dalam pada itu, ternyata ayah John pun tidak menyetujui hubungan John dengan Mariam. Saat mariam datang ke rumah John, ia diusir oleh ayah John. Dalam perjalanan pulang, Mariam berkenalan dengan seorang tukang sado bernama Husin. Mariam menceritakan segala kesulitannya. Mendengar kisah sedih Mariam, Husin ingin menolong dengan bersandiwara sebagai pacar Mariam.

Singkat cerita, mereka kemudian dinikahkan di depan penghulu. Keduanya sepakat melakukan perceraian satu minggu setelah ayah Mariam meninggal dunia. Ternyata H. Acim tidak jadi meninggal. Di lain pihak, sang tukang sado, Husin, malah benar-benar jatuh cinta pada Mariam, bahkan menuntut haknya sebagai suami. Mariam tak mau memberiknnya, karena hatinya tetap terpaut pada sang bule, John. Celakanya John tahu kekasihnya telah kawin dengan pria lain, ia pun sakit hati dan marah besar.

Lewat kekuasaan ayahnya, ia menyuruh serdadu Kompeni menangkap Husin dan Mariam. Mariam kemudian diketahui mati secara tragis, akibat perlakuan kejam penjahat, Pii. Jenazahnya ditemukan di muara Ancol. Sejak saat itu arwah Mariam konon selalu gentayangan di bilangan jembatan Ancol. Kisah Mariam ini yang kemudian populer dengan sebutan Si Manis Jembatan Ancol. Tahun 1973, Kisah Si Manis Jembatan Ancol difilmkan dengan sutradara Turino Junaedi dan Mariam diperankan oleh Lenny Marlina.

Di balik kedua kisah nyai yang bernasib tragis tersebut di atas, masih banyak kisah nyai-nyai yang bernasib serupa. Mereka ber"suami"kan laki-laki Kompeni dan memiliki keturunan, terutama di perkebunan-perkebunan.

by. Salman P

dikutip dari buku Toko Merah~Thomas M. A.